Kamis, 02 Mei 2013

KEKUASAAN, KEDILAN, DAN KEHENDAK MUTLAK TUHAN


BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai akibat dari perbedaan faham yang terdapat dalam aliran-aliran teologi islam mengenai kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatnnya, terdapat pula perbedaan faham tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya besar dan manusia bebas dan berkuasa atas kehendak  dan perbuatannya, kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakekatnya tidak lagi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. Bagi aliran yang berpendapat sebaliknya, kekuasaan dan kehendak Tuhan
tetap bersifat mutlak. Dengan demikian bagi kaum Asy’ariah, Tuhan berkuasa dan berkehendak mutlak, sedang bagi kaum mu’tzilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi mempunyai sifat mutlak semutlak-mutlaknya.

Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, Al-Asy’ari menulis dalam AlIbanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun, Tuhan tidak ada suatu zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat Tuhan.
Al-Ghazali juga mengeluarkan pendapat yang sama. Tuhan dapat berbauat apa saja yang dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukum menurut kehendaknya, dapat menyiksa orang yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya dan dapat memberi upah kepada orang kafir jika yang demikian dikehendaki-Nya.

Sedangkan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Sebagai terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan Tuhan yang dibatasi oleh kebebasan yang menurut faham Mu’tazilah telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.      Kekuasaan dan Kehendak Tuhan
Di dalam teologi Islam, terdapat dua macam pandangan mengenai kekuasaan dan kehendak Tuhan.Aliran teologi yang memberikan kedudukan yang tinggi kepada akal dan berpegang pada kebebasan manusia didalam berbuat dan berkehendak, berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak, tetapi dibatasi oleh sunnah-Nya sendiri. Sunnah Tuhan tidak pernah berubah seperti sunnah api adalah membakar dan tidak pernah berubah menjadi tidak membakar. Jika terdapat sesuatu yang tak terbakar oleh api asbertos, bukan berarti api kehilangan sunahnya untuk membakar, tetapi asbestos itulah yang mempunyai unsur yang tak terbakar oleh api. Segala sesuatu yang ada didunia ini masing-masing mempunyai sunahnya sendiri-sendiri.[1]

Aliran yang mengakui kebebasan manusia dan mengakui ketidakmutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan, biasa disebut kaum Qadariyah mereka yang mengakui adanya free will dan free act bagi manusia. Adapun aliran yang tidak mengakui adanya kebebasan manusia dalam berbuat dan berkehendak biasa disebut dengan kaum Jabariyah mereka yang menyebut manusia sebagai umat fatalisme atau predesination.

Mu’tazila merupakan salah satu contoh dari golongan pertama. Mereka berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan dan kehendak-Nya tidak mutlak lagi, tetapi ia harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang timbul dan peraturan yang dibuat-Nya.Diantara kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan Tuhan ialah memberi pahala bagi orang yang maenjalankan perintah-Nya dan menyiksa orang yang melanggarnya. Semua kewajiban Tuhan bisa dirangkum dalam satu kewajiban, yaitu Tuhan wajib berbuat baik atau dalam istilah Mu’tazilah bisa disebut dengan Al-salah wa Al-aslah ( berbuat baik dan terbaik ).

Al-Juwaini tidak sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban. Baginya, tak ada kewajiban bagi Tuhan. Tuhan sebagai zat yang tertinggi dan Maha Berkuasa, tak satupun yang mengikuti-Nya untuk memenuhi kewajiban-kewajiban.

Lain halnya dengan pendapat Al-Asy’ari. Baginya, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap makhluk-Nya. Maka Ia tidak wajib memasukkan orang yang berbuat baik kedalam surga atau memasukkan orang yang berbuat jahat kedalam neraka. Bahkan Tuhan boleh memasukkan orang yang berbuat baik kedalam neraka dan memasukkan orang yang berbuat jahaat kedalam surga, menurut kehendak dan sesuai kehendaknya ynag mutlak. Namun demikian Tuhan tidak berdusta akan berita-Nya, lanju Al-Asy’ari.

Dari ungkapan ini, bisa dimengerti bahwa Tuahan bagi Al-Asy’ari mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak, tak dibatasi oleh apapun. Jika Tuhan tidak pernah memasukkan orang kafir kesurga, itu berarti Tuhan tdak berkuasa untuk memasukkanya kedalam surga, sebab memasukkan orang kafir kedalam surga sama dengan Tuhan berdusta, sedangkan dusta merupakan sifat mustahil bagi Tuhan sebagaimana bodoh juga merupakan sifat mustahil bagi-Nya.

Agaknya, Al-Asy’ari benar-benar menghindari adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, sebab adanya kewajiban akan berarti adanya batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Pemakaian kata mustahil tidak akan berakibat pada pengurangan terhadap kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.

Bagi Al-Juwaini, walaupun Ia menghindari adanya kewajiban bagi Tuhan, namun pendapatnya tentang Tuhan pasti memenuhi janji dan melaksanakan ancaman-Nya terselip pengertian bahwa Tuhan harus melaksanakan janji dan ancaman-Nya, walaupun sekali tempo Tuhan membatalkan ancaman dan memberi pengampunan bagi orang yang bersalah.

Pendapat seperti ini sama dengan pendapat Maturidiyah Bukhara. Seperti yang dijelaskan oleh Al-Badzwi, bahwa Tuhan tidak mungkin melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada orang berbuat baik, tetapi sebaliknya, bukan tdak ungkin Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu, nasib orang yang berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkehendak untuk memberi ampun kepada orang yang berdosa besar, Tuhan akan memasukkannya bukan kedalam neraka, tetapi kedalam surga. Dan jika Ia berkehendak untuk memberi hukuman kepadanya, Tuhan akan memasukkannya kedalam neraka untuk selama-lamanya. Bukan tidak mungkin Tuhan ampun kepada seseorang, tapi dalam  pada itu, tidak memberi ampun kepada orang lain, sungguhpun dosanya sama.[2]

Dari uraian diatas, bisa diketahui bahwa bagi Maturidiyah Bukhara dan Al-Juwaini, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak benar-benar mutlak, sebagaimana pendapat Al-Asy’ari, mereka berusaha mempertahankan keadilan, kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Akan tetapi, karena adanya kekuasaan dan kehendak utlak Tuhan bertentangan dengan aham keadilan Tuhan, maka membawa kesimpulan bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak mutlak lagi, sebab dibatasi oleh keadilan-Nya.

B.       Keadilan Tuhan
Keadilan secara leksikal berarti sama dan menyamakan. Dan menurut pandangan umum, keadilan yaitu menjaga hak-hak orang lain. Keadilan merupakan lawan kezaliman yang berarti merampas hak-hak orang lain. Atas dasar ini, definisi keadilan  ialah memberikan hak kepada yang berhak mene-rimanya. Maka itu, pertama kita harus mempunyai gambaran adanya pihak yang mempunyai hak sehingga dapat dikatakan bahwa menjaga haknya merupakankeadilandanmerampashaknyaadalahkezaliman.
MaknakeadilanTuhanmenurutbeberapagolongan :
1.         Muta’zilah
Soal keadilan mereka tinjau dari sudut pandangan manusia, bagi mereka sebagai yang diterangkan olehAbd al-Jabbar, keadilan erat kaitannya dengan hak dan keadilan diartikan memberikan orang akanhaknya . Kata-kata “TuhanAdil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak dapat berbuat yang buruk dan bahwa ia tidak dapat mengabaikan kewajiban – kewajiban –Nya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak boleh bersifat Zalim dalam member hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orang tuanya dan mesti member upah kepada orang-orang yang patuh  pada-Nya dan memberikan hukuman kepada orang-orang yang menentang perintah-Nya.Selanjutnya keadilan juga mengadukan arti berbuat semestinya serta seusai dengan kepentingan manusia.Dan member upah atau hukuman kepada manusia sejajar dengan corak perbuatannya.[3]

2.      Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatannya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan perbuatan dalam arti sebab dalam mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu betul mereka akui bahwa perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan itu tidaklah mendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Tuhan berbuat semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlaknya bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Dengan demikian keadilan Tuhan mempunyai arti bahwaTuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluknya dan berbuat sekehendak hati-Nya.

3.      Maturidiyah
Faham Maturidiyah ini ada dua golongan pertama golongan maturidiyah Bukhoro yang kedua golongan Maturidiyah di Samarkand. Golongan maturidiyah Bukhoro mempunyai sikap yang sama dengan kaum Asy’ariyah. Menurut Al-Badzawi tidak ada tujuan yang mendorong   Tuhan untuk menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat sekehendak hati-Nya. Dengan kata lain al-Bazdawi berpendapat bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia.

Bagi kaum Mu’tazilah dan kaum maturidiyah kelopak Samarkand persoalan persoalan tersebut tidaklah timbul, karena bagi mereka perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan tetap ia dalah perbuatan manusia itu sendiri. Jadi, manusia dihukum atas perbuatan yang dikehendakinya sendiri dan yang dilakukan bukan dengan paksaan, akan tetapi dengan kebebasan yang diberikanTuhan kepadanya. Bagi kaum Maturidiyah kelompak Bukhra, karena sefaham dengan kaum Asy’ariyah


BAB III
KESIMPULAN

Aliran yang mengakui kebebasan manusia dan mengakui ketidakmutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan, biasa disebut kaum Qadariyah mereka yang mengakui adanya free will dan free act bagi manusia. Adapun aliran yang tidak mengakui adanya kebebasan manusia dalam berbuat dan berkehendak biasa disebut dengan kaum Jabariyah mereka yang menyebut manusia sebagai umat fatalisme atau predesination.Keadilan Tuhan menurut :
Ø   Mu’tazilah
Kata-kata “Tuhan Adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak dapat berbuat yang buruk dan bahwa ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.
Ø   Asy’ariyah
Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan perbuatan dalam arti sebab dalam mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu betul mereka akui bahwa perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan itu tidaklah mendorong bagi Tuhan untuk berbuat.
Ø   Maturidiyah
Faham Maturidiyahini ada dua golongan pertama golongan maturidiyah Bukhoro yang kedua golongan Maturidiyah di Samarkand, dan masing-masing memiliki perbedaan pendapat tentang Keadilan Tuhan.


Daftar Pustaka

Kiswati, Isuroya. 2002. PeletakDasarTeologiRasionaldalam Islam, Jakarta: Al-Juwaini

kehendak-mutlak-tuhan-dan-keadilan. Diaksesdari http:// technurlogy.wordpress.com, PadaTanggal (24 November 2011).


[1]IsurayaKiswati, Al-JuwainiPeletakDasarTeologiRasionaldalam Islam, (Jakarta:2002), h 139
[2]IsuroyaKiswati, Al-JuwainiPeletakDasarTeologiRasionaldalam Islam, (Jakarta:2002), h 143
[3]http://technurlogy.wordpress.com/2010/02/15/kehendak-mutlak-tuhan-dan-keadilan/

0 komentar:

Posting Komentar

syaifudin.zuhry. Diberdayakan oleh Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan