Kamis, 02 Mei 2013

Konsep Ma'rifat


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar  Belakang
Dalam wacana tasawuf, ma’rifat dianggap sebagai tingkatan tertinggi dalam perjalanan tasawuf. Biasanya ma’rifat dipandang sebagai perolehan kemuliaan para sufi dan merupakan tema sentral dalam tasawuf yang sangat menarik perhatian kaum sufi.       
Perolehan ma’rifat merupakan kebanggaan tertinggi yang banyak didambakan para sufi. Upaya pengkhayatan ma’rifat kepada Allah (ma’rifatullah) merupakan tujuan utama dan sekaligus sebagai inti ajaran tasawuf. Oleh karena itu, ma’rifatullah tidak dapat dicapai tanpa melalui suatu
proses atau upaya tertentu. Untuk lebih memahami tentang ma’rifat, pada bagian ini pemakalah akan membahasnya lebih jauh.
Ada dua bentuk  pengetahuan Ilahi : keilmuan dan perasaan. Pengetahuan yang pertama adalah pondasi dari semua rahmat di dunia dan akhirat karena yang terpenting bagi manusia di semua ranah waktu dan keadaan adalah pengetahuan Allah, sebagaimana firman-Nya: “ Dan aku tidak menciptakan jin manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”[1] yakni bahwa mereka bias mengenali-Ku tetapi sebagaian besar manusia mengabaikan kewajiban ini, kecuai mereka yang dikehendaki Allah dan mereka yang hatinya disibakkan dengan-Nya.[2]
Mak’rifah adalah kehidupan hati melalui Allah, dan pengabaikan bathin manusia dari semua yang bukan Allah. Nilai seorang manusia terletak pada ma’rifahnya, dan orang yang tidak memiliki ma’rifah tidak memiliki apa-apa. Mutakallimun, fuqoha, dan kelompok ahli lainnya menamakan ma’rifah untuk pengetahuan yang benar, karena adanya rasa yang benar kepada Allah, tetapi syekh sufi menyebut perasaan yang benar dengan nama Ma’rifah.
Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa ma’rifah lebih utama dari pada ilmu, karena perasaan yang benar akibat dari penalaran yang benar, tetapi penalaran yang benar tidak sama dengan perasaan yang benar. Maksudnya seseorang tidak mempunyai pengetahuan dengan ilahi bukanlah orang yang mempunyai ma’rifah, tetapi bisa saja seseorang mempunyai pengetahuan tentang Allah tanpa mesti harus ‘arif.

B.       Tujuan Pembahasan
1.      Definisi Ma’rifah
2.      Alat-alat untuk mencapai ma’rifah
3.      Manfaat Ma’rifah
4.      Tokoh yang mengembangkan ma’rifat


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ma’rifah
Dari segi bahasa, ma’rifah berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu, ‘irfan, dan ma’rifah yang artinya adalah pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifah juga pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi dari ilmu yang biasa yang didadapi oleh orang-orang pada umumnya. Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan hal-hal yang bersifat dzahir, tetapi lebih mendalam terhadap bathinnya dengan mengetahui rahasianya.[3]
Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawwuf, antara lain:
a.       Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawwuf yang mengatakan
“ Ma’rifah adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya”
b.      As-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Khadiry mengemukakan pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan:
“ Ma’rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi)dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi ”
c.       Imam AL-Qusyairi mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan
“ Ma’rifah membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barang siapa  yang meningkat ma’rifahnya, maka meningkat pula ketenangannya (hatinya)”.[4]
Ma’rifat dalam arti harfiah adalah Pengenalan seorang Hamba terhadap Tuhannya, dalam hal ini adalah Allah, karena tujuan utama dari seorang hamba adalah mengenal Tuhannya dengan baik dan berusaha mencintaiNya.
Dalam kitab Al-Mahabbah, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa cinta kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam spiritual dan ia menduduki derajad/level yang tinggi. "(Allah) mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya." (QS. 5: 54). Dalam tasawuf, setelah di raihnya maqam mahabbah ini tidak ada lagi maqam yang lain kecuali buah dari mahabbah itu sendiri. Pengantar-pengantar spiritual seperti sabar, taubat, zuhud, dan lain lain nantinya akan berujung pada mahabatullah (cinta kepada Allah).[5]
Ma’rifah digunakan untuk menunjukkan pada salah satu tingkatan dalam tasaawuf. Dalam makna sufistik ini, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari, sebagai kelengkapan pengetahuan terhadap Tuhan melalui daya ‘aqliyah yang lazim dikenal dengan al-‘ilmubilla. Orang yang telah mencapai ma’rifah disebut al-‘arifdan yang mengenal Tuhan dengan daya logikanya, terutama mencapai tauhid, disebut al-‘alim waal-‘ulama. Orang ‘alim mampu memiliki rasa takut akan kedahsyatan Tuhan yang Maha Agung dan orang ‘arif billah mampu mencapai cinta kepada Allah. Pengetahuan ma’rifah itu sedemikian lengkap dan jelas hingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuianya itu, yaitu Tuhan.
Harun Nasution, mengatakan bahwa ma’rifah menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis, pengetahuan dengan hati sanubari, sehingga hati sanubari ini dapat melihat tuhan dari dekat. Oleh karena itu orang-orang sufi mengatakan :
1.      Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup, ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2.      Ma’rifah adalah cermin, kalau orang ‘arif melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3.      Yang dilihat orang ‘arif baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4.      Sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan keindahannya serta cahaya akan menjadi gelap di smaping cahaya yang gilang-gemilang.[6]
Dari beberapa definisi di atas dapat kita fahami bahwa ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia Allah dengan hati sanubari. Tujuan yang ingin dicapai ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
Sebagaimana dikemukakan al-Kalazabi, ma’rifat datang sesudah mahabbah, hal ini disebabkan karena ma’rifat lebih mengacu pada pengetahuan sedangkan mahabbah menggambarkan kecintaan.  
Mengenal Allah (ma’rifatullah) mempunyai berbagai tingkatan: a) setiap akibat yang diperolehnya, ia mengetahuinya sebagai berasal dari Pelaku Mutlak (yakni, Allah); b) setiap akibat yang berasal dari Pelaku Mutlak, ia mengetahuinya sebagai sifat tertentu Allah; c) dalam keagungan setiap sifat-Nya, ia mengetahui maksud dan tujuan Allah; d) sifat ilmu Allah, ia diketahui dalam ma’rifah sendiri.[7]
Makin tinggi tingkat kedekatan seseorang dengan Allah, makin tampak efek-efek keagungan-Nya. Umumnya, ilmu diperoleh dari ketidaktahuan. (Maksudnya ialah bahwa ilmu baru bias diperoleh jika seseorang menydari ketidaktahuannya) ma’rifah tentang kehalusan meningkat, ketakjuban diatas ketakjuban bertamba, sang ‘arif pun berseru, “Ya Allah, tingkatkan ketakjubanku kepada-Mu.”
Semuanya ini adalah ilmu ihwal ma’rifah dan bukan ma’rifah itu sendiri. Sebab, ma’rifah adalah masalah keterpesonaan dan keterpukauan yang penjelasannya tidak bias sempurna, tetapi pengantarnya adalah ilmu. Maka, tanpa ilmu, ma’rifah mustahil terjadi, dan ilmu tanpa ma’rifah adalah bencana.

B.       Alat yang digunakan untuk ma’rifah
Alat yang dapat digunakan untuk mencapai ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati), yang artinya tidak sama dengan heart dalam bahasa inggris. Selain sebagai alat untuk merasa, qalb juga menjadi alat untuk berfikir. Bedanya qalb dengan akal ialah, bahwa akal tidak dapat memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bias mengetahui hakikat dari segala yang ada, dan jika dilimpahi cahaya Tuhan bias mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qolb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat dari serangkaian dzikir dan wirid secara teratur akan mengetahui rahasia-rahasia Tuhan, yaitu setelah hati tersebut disinari cahaya Tuhan.[8]
Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli dan tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab, sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. 
Tajalli merupakan jalan untuk mendapatkan ma’rifah dan terjadi setelah terjadinya al fana yakni hilangnya sifat-sifat dan rasa kemanusiaan dan melebur pada sifat-sifat Tuhan. Alat yang digunakan untuk mencapai tajalli adalah hati yaitu hati yang telah mendapatkan cahaya dari Tuhan.
Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Dengan cara demikian ia dapat mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Orang yang sudah mencapai ma’rifah ia memperoleh hubungan langsung dengan sumber ilmu yaitu Allah. Dengan hati yang dilimpahi cahaya, ia dapat diibaratkan seperti orang yang memiliki antena parabola yang mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan.[9]

C.      Manfaat Ma’rifah         
Semua yang ada di alam ini mutlak ada dalam kekuasaan Allah. Ketika melihat fenomena alam, idealnya kita bisa ingat kepada Allah. Puncak ilmu adalah mengenal Allah (ma'rifatullah). Kita dikatakan sukses dalam belajar bila dengan belajar itu kita semakin mengenal Allah. Jadi percuma saja sekolah tinggi, luas pengetahuan, gelar prestisius, bila semua itu tidak menjadikan kita makin mengenal Allah.
Mengenal Allah adalah aset terbesar. Mengenal Allah akan membuahkan akhlak mulia. Betapa tidak, dengan mengenal Allah kita akan merasa ditatap, didengar, dan diperhatikan selalu. Inilah kenikmatan hidup sebenarnya. Bila demikian, hidup pun jadi terarah, tenang, ringan, dan bahagia. Sebaliknya, saat kita tidak mengenal Allah, hidup kita akan sengsara, terjerumus pada maksiat, tidak tenang dalam hidup, dan sebagainya.
Ciri orang yang ma'rifat adalah laa khaufun 'alaihim wa lahum yahzanuun. Ia tidak takut dan sedih dengan urusan duniawi. Karena itu, kualitas ma'rifat kita dapat diukur. Bila kita selalu cemas dan takut kehilangan dunia, itu tandanya kita belum ma'rifat. Sebab, orang yang ma'rifat itu susah senangnya tidak diukur dari ada tidaknya dunia. Susah dan senangnya diukur dari dekat tidaknya ia dengan Allah. Maka, kita harus mulai bertanya bagaimana agar setiap aktivitas bisa membuat kita semakin kenal, dekat dan taat kepada Allah. [10]
Salah satu ciri orang ma'rifat adalah selalu menjaga kualitas ibadahnya. Terjaganya ibadah akan mendatangkan tujuh keuntungan hidup.
1)      Hidup selalu berada di jalan yang benar (on the right track).
2)       memiliki kekuatan menghadapi cobaan hidup. Kekuatan tersebut lahir dari terjaganya keimanan.
3)      Allah akan mengaruniakan ketenangan dalam hidup. Tenang itu mahal harganya. Ketenangan tidak bisa dibeli dan ia pun tidak bisa dicuri.  
Apa pun yang kita miliki, tidak akan pernah ternikmati bila kita selalu resah gelisah.        
4)      seorang ahli ibadah akan selalu optimis. Ia optimis karena Allah akan menolong dan mengarahkan kehidupannya. Sikap optimis akan menggerakkan seseorang untuk berbuat. Optimis akan melahirkan harapan. Tidak berarti kekuatan fisik, kekayaan, gelar atau jabatan bila kita tidak memiliki harapan.       
5)      seorang ahli ibadah memiliki kendali dalam hidupnya, bagaikan rem pakem dalam kendaraan. Setiap kali akan melakukan maksiat, Allah SWT akan memberi peringatan agar ia tidak terjerumus. Seorang ahli ibadah akan memiliki kemampuan untuk bertobat.
6)      selalu ada dalam bimbingan dan pertolongan Allah. Bila pada poin pertama Allah sudah menunjukkan jalan yang tepat, maka pada poin ini kita akan dituntun untuk melewati jalan tersebut. 
7)       seorang ahli ibadah akan memiliki kekuatan ruhiyah, tak heran bila kata-katanya bertenaga, penuh hikmah, berwibawa dan setiap keputusan yang diambilnya selalu tepat[11]     .
D.           Tokoh yang mengembangkan Ma’rifah
Didalam leteratur tasawwwuf   hanya di jumpai 2 orang tokoh masyhur yang mengenalkan paham ma’rifat ini, yakni :
1.      Al-Ghozali (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozali)
2.      Dzannun Al Misri
Al-Ghozali adalah santri imam Haromain Al-Juwaini, setelah mempelajari ilmu agama dll, akhirnya ia memilih tasawwuf sebagai jalan hidupnya.[12]
Mengenai bukti bahwa kedua tokoh tersebut membawa paham ma’rifat dapat diakui dari beberapa pendapat dibawah ini, misal ia mengatakan pengertian ma’rifat adalah
الاطلاع على الاسرار الربوبية والعلم بترتب العمور الالهية المحيطة بكل موجودات
Bahwa ma’rifat adalah meneliti rahasia-rahasia ketuhanan dan mengetahui atau mengerti keteraturan urusan ketuhanan yang mencakup segala yang ada.[13]
Lebih dalam lagi Al-Ghozali meengatakan ma’rifat adalah
المناظر الى وجه الله
Yakni memndang kepada keagungan Allah.[14]
Seterusnya Al-Ghozali menjelaskan bahwa Al-Arif billah tidak akan mengalahkan Ya Allah atau Ya Rabb, karena baginya memanggil Allah dengan kata-kata serupa ini mengisyaratkan bahwa Allah ada dibalik tabir (bukan dihadapan kita) orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil nama temannya itu. Bagi Al-Ghozali ma’rifat menempati urutan terlebih dahulu dari pada mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma’rifat.
Al-Ghozali lebih lanjut mengatakan bahwa ma’rifat dan mahabbah adalah setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai seorang sufi. Adapun ma’rifat yang diajukan oleh Dzannun Al-Misri adalah suatu pengetahuan hakiki tentang Tuhan, ia mengatakan bahwa ma’rifat hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka. Ma’rifat dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi sehingga hatinya penuh cahaya.
Ketika Dzannun Al-Misri ditanya bagaimana ia memperoleh ma’rifat tentang Tuhan, maka ia menjawab :
كنت خزينة خافية أحببت أن أعرف فخلقت الخلق فتعرفت اليهم فعرفوني
“ Aku ini merupakan perbendaharaan tersembunyi, Aku ingin untu dikenali sehingga kuciptakan makhlukku, lau aku perkenalkan diri kepada mereka, sehingga mereka mengenal dan mngerti aku” [15]
Ungkapan diatas menunjukkan bahwa ma’rifat tidak diperoleh begitu saja, tetapi melalui pemberian Tuhan. Ma’rifat bukanlah hasil pemikiran manusia, tetapi tergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup menerimanya. Pemberian tersebut dicapai setelah sufi lebih dahulu menunjukkan kebolehannya, kepatuhannya dan ketaatan pengabdiannya pada Allah dalam bermal secara lahiriah sebagai pengabdian yang dikerjakan oleh tubuh untuk beribadah.[16]

BAB III
PENUTUP

I.              Dari segi bahasa ma’rifah berasal dari kata ‘arofa, yu’rifu, ‘irfan, ma’rifah yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Ma’rifah adalah pengetahuan yang obyeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui rahasianya.
II.           Alat yang digunakan untuk ma’rifah telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati). Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli dan tajalli.
III.        Dalam literatur tasawuf dijumpai dua orang tokoh yang mengenalkan paham ma’rifah ini yaitu Al-Ghazali dan Zun al-Nun al-Misri. al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma’rifah tentang Tuhan yaitu ‘arif, tidak akan mengatakan “Ya Allah” atau “Ya Rabb” karena memanggil Tuhan dengan kata-kata yang serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di belakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu. Adapun ma’rifah yang dimajukan olh Zun al-Nun al-Misri adalah pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Menurutnya ma’rifah hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan hati sanubari mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim
Al-Hujwiri , Ibnu Usman, The Golden Soul. Yogyakarta: Jl.Musikauan pb I, 1994
Mustofa, A.Akhlaq Tasawwuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Nasution, Harun, falsafah, Bandung: Mizan, 1995.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang.
Nata, Abuddin, Akhlak Tasawwuf, Jakarta: Rajawali Press, 1996
Rosyid, AM. dan Sholihin, M., Akhlaq Tasawwuf, Bandung: Nuansa
Saliba, Jamil. Mu’jam al Falsafi, jilid II. Beirut: Dar al-Kitab, 1979.
Tualeka, Hamzah, Akhlak Tasawwuf, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011
Umar,Syihabuddin, Awarif al-Ma’arif. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Zahrim, Musatafa, kunci memahami.


[1]Q.S az-Zariyat [51]: (56).
[2]Ibnu Usman al-Hujwiri, The Golden Soul (Yogyakarta: Jl.Musikauan pb I, 1994), h.309
[3]Jamil Saliba. Mu’jam al Falsafi, jilid II. (Beirut: Dar al-Kitab, 1979), 72.
[4]A. Mustofa. Akhlaq Tasawwuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 251-252
[5]akhlaq-tasawwuf Diakses pada 24 April 2012, dari http://miftahfkmb.blogspot.com.
[6]Harun Nasution, falsafah, (Bandung: Mizan, 1995) 75-76
[7]Syihabuddin Umar, Awarif al-Ma’arif. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 107
[8]Hamzah Tualeka, Akhlak Tasawwuf, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), h. 306
[9]Ibid, h. 307
[10]Abuddin Nata, Akhlak Tasawwuf, (Jakarta: Rajawali Press, 1996)
[11]Ibid
[12]Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang). h. 43
[13]IbId
[14]IbId
[15]AM.Rosyid dan M.Sholihin, Akhlaq Tasawwuf (Bandung: Nuansa) h. 227
[16]Musatafa Zahrim, kunci memahami, h. 230

0 komentar:

Posting Komentar

syaifudin.zuhry. Diberdayakan oleh Blogger.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan