BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai akibat dari
perbedaan faham yang terdapat dalam aliran-aliran teologi islam mengenai
kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak
dan perbuatnnya, terdapat pula perbedaan faham tentang kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya besar dan
manusia bebas dan berkuasa atas kehendak dan perbuatannya, kekuasaan dan kehendak Tuhan
pada hakekatnya tidak lagi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. Bagi aliran yang
berpendapat sebaliknya, kekuasaan dan kehendak Tuhan
tetap bersifat mutlak. Dengan demikian bagi kaum Asy’ariah, Tuhan berkuasa dan berkehendak mutlak, sedang bagi kaum mu’tzilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi mempunyai sifat mutlak semutlak-mutlaknya.
tetap bersifat mutlak. Dengan demikian bagi kaum Asy’ariah, Tuhan berkuasa dan berkehendak mutlak, sedang bagi kaum mu’tzilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi mempunyai sifat mutlak semutlak-mutlaknya.
Dalam menjelaskan
kemutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan ini, Al-Asy’ari menulis dalam AlIbanah
bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapapun, Tuhan tidak ada suatu zat lain yang
dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat Tuhan.
Al-Ghazali juga
mengeluarkan pendapat yang sama. Tuhan dapat berbauat apa saja yang
dikehendaki-Nya, dapat memberikan hukum menurut kehendaknya, dapat menyiksa orang
yang berbuat baik jika itu dikehendaki-Nya dan dapat memberi upah kepada orang
kafir jika yang demikian dikehendaki-Nya.
Sedangkan kaum
Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak
lagi. Sebagai terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan Tuhan yang dibatasi oleh
kebebasan yang menurut faham Mu’tazilah telah diberikan kepada manusia dalam
menentukan kemauan dan perbuatan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kekuasaan dan Kehendak Tuhan
Di dalam teologi Islam, terdapat dua macam
pandangan mengenai kekuasaan dan kehendak Tuhan.Aliran teologi yang memberikan
kedudukan yang tinggi kepada akal dan berpegang pada kebebasan manusia didalam
berbuat dan berkehendak, berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan tidak mutlak, tetapi
dibatasi oleh sunnah-Nya sendiri. Sunnah Tuhan tidak pernah berubah seperti
sunnah api adalah membakar dan tidak pernah berubah menjadi tidak membakar.
Jika terdapat sesuatu yang tak terbakar oleh api asbertos, bukan berarti api
kehilangan sunahnya untuk membakar, tetapi asbestos itulah yang mempunyai unsur
yang tak terbakar oleh api. Segala sesuatu yang ada didunia ini masing-masing
mempunyai sunahnya sendiri-sendiri.[1]
Aliran yang mengakui kebebasan manusia dan
mengakui ketidakmutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan, biasa disebut kaum
Qadariyah mereka yang mengakui adanya free will dan free act bagi manusia.
Adapun aliran yang tidak mengakui adanya kebebasan manusia dalam berbuat dan
berkehendak biasa disebut dengan kaum Jabariyah mereka yang menyebut manusia
sebagai umat fatalisme atau predesination.
Mu’tazila merupakan salah satu contoh dari
golongan pertama. Mereka berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan dan kehendak-Nya
tidak mutlak lagi, tetapi ia harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang timbul
dan peraturan yang dibuat-Nya.Diantara kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakan Tuhan ialah memberi pahala bagi orang yang maenjalankan
perintah-Nya dan menyiksa orang yang melanggarnya. Semua kewajiban Tuhan bisa
dirangkum dalam satu kewajiban, yaitu Tuhan wajib berbuat baik atau dalam
istilah Mu’tazilah bisa disebut dengan Al-salah wa Al-aslah ( berbuat baik dan
terbaik ).
Al-Juwaini tidak sependapat dengan Mu’tazilah,
bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban. Baginya, tak ada kewajiban bagi
Tuhan. Tuhan sebagai zat yang tertinggi dan Maha Berkuasa, tak satupun yang
mengikuti-Nya untuk memenuhi kewajiban-kewajiban.
Lain halnya dengan pendapat Al-Asy’ari.
Baginya, Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap makhluk-Nya. Maka Ia
tidak wajib memasukkan orang yang berbuat baik kedalam surga atau memasukkan
orang yang berbuat jahat kedalam neraka. Bahkan Tuhan boleh memasukkan orang
yang berbuat baik kedalam neraka dan memasukkan orang yang berbuat jahaat
kedalam surga, menurut kehendak dan sesuai kehendaknya ynag mutlak. Namun
demikian Tuhan tidak berdusta akan berita-Nya, lanju Al-Asy’ari.
Dari ungkapan ini, bisa dimengerti bahwa
Tuahan bagi Al-Asy’ari mempunyai kekuasaan dan kehendak mutlak, tak dibatasi
oleh apapun. Jika Tuhan tidak pernah memasukkan orang kafir kesurga, itu
berarti Tuhan tdak berkuasa untuk memasukkanya kedalam surga, sebab memasukkan
orang kafir kedalam surga sama dengan Tuhan berdusta, sedangkan dusta merupakan
sifat mustahil bagi Tuhan sebagaimana bodoh juga merupakan sifat mustahil
bagi-Nya.
Agaknya, Al-Asy’ari benar-benar menghindari
adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan, sebab adanya kewajiban akan berarti
adanya batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Pemakaian kata
mustahil tidak akan berakibat pada pengurangan terhadap kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan.
Bagi Al-Juwaini, walaupun Ia menghindari
adanya kewajiban bagi Tuhan, namun pendapatnya tentang Tuhan pasti memenuhi
janji dan melaksanakan ancaman-Nya terselip pengertian bahwa Tuhan harus
melaksanakan janji dan ancaman-Nya, walaupun sekali tempo Tuhan membatalkan
ancaman dan memberi pengampunan bagi orang yang bersalah.
Pendapat seperti ini sama dengan pendapat
Maturidiyah Bukhara. Seperti yang dijelaskan oleh Al-Badzwi, bahwa Tuhan tidak
mungkin melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada orang berbuat baik,
tetapi sebaliknya, bukan tdak ungkin Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi
hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu, nasib orang yang
berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan. Jika Tuhan berkehendak
untuk memberi ampun kepada orang yang berdosa besar, Tuhan akan memasukkannya
bukan kedalam neraka, tetapi kedalam surga. Dan jika Ia berkehendak untuk
memberi hukuman kepadanya, Tuhan akan memasukkannya kedalam neraka untuk
selama-lamanya. Bukan tidak mungkin Tuhan ampun kepada seseorang, tapi
dalam pada itu, tidak memberi ampun
kepada orang lain, sungguhpun dosanya sama.[2]
Dari uraian diatas, bisa diketahui bahwa bagi
Maturidiyah Bukhara dan Al-Juwaini, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak
benar-benar mutlak, sebagaimana pendapat Al-Asy’ari, mereka berusaha
mempertahankan keadilan, kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Akan tetapi,
karena adanya kekuasaan dan kehendak utlak Tuhan bertentangan dengan aham
keadilan Tuhan, maka membawa kesimpulan bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan
tidak mutlak lagi, sebab dibatasi oleh keadilan-Nya.
B. Keadilan Tuhan
Keadilan secara leksikal berarti sama dan menyamakan. Dan menurut
pandangan umum, keadilan yaitu menjaga hak-hak orang lain. Keadilan merupakan
lawan kezaliman yang berarti merampas hak-hak orang lain. Atas dasar ini,
definisi keadilan ialah memberikan hak kepada yang berhak mene-rimanya.
Maka itu, pertama kita harus mempunyai gambaran adanya pihak yang mempunyai hak
sehingga dapat dikatakan bahwa menjaga haknya
merupakankeadilandanmerampashaknyaadalahkezaliman.
MaknakeadilanTuhanmenurutbeberapagolongan :
1.
Muta’zilah
Soal keadilan mereka
tinjau dari sudut pandangan manusia, bagi mereka sebagai yang diterangkan olehAbd
al-Jabbar, keadilan erat kaitannya dengan hak dan keadilan diartikan memberikan
orang akanhaknya . Kata-kata “TuhanAdil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya
adalah baik, bahwa ia tidak dapat berbuat yang buruk dan bahwa ia tidak dapat mengabaikan
kewajiban – kewajiban –Nya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak boleh bersifat
Zalim dalam member hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa
orang tuanya dan mesti member upah kepada orang-orang yang patuh pada-Nya dan memberikan hukuman kepada
orang-orang yang menentang perintah-Nya.Selanjutnya keadilan juga mengadukan arti
berbuat semestinya serta seusai dengan kepentingan manusia.Dan member upah atau
hukuman kepada manusia sejajar dengan corak perbuatannya.[3]
2.
Asy’ariyah
Kaum Asy’ariyah mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai
tujuan dalam perbuatan-perbuatannya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan
tidak mempunyai tujuan perbuatan dalam arti sebab dalam mendorong Tuhan untuk
berbuat sesuatu betul mereka akui bahwa perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan
dan keuntungan itu tidaklah mendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Tuhan berbuat semata-mata
karena kekuasaan dan kehendak mutlaknya bukan karena kepentingan manusia atau tujuan
lain. Dengan demikian keadilan Tuhan mempunyai arti bahwaTuhan mempunyai kekuasaan
mutlak terhadap makhluknya dan berbuat sekehendak hati-Nya.
3.
Maturidiyah
Faham Maturidiyah
ini ada dua golongan pertama golongan maturidiyah Bukhoro yang kedua golongan Maturidiyah
di Samarkand. Golongan maturidiyah Bukhoro mempunyai sikap yang sama dengan kaum
Asy’ariyah. Menurut Al-Badzawi tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat
sekehendak hati-Nya. Dengan kata lain al-Bazdawi berpendapat bahwa alam tidak diciptakan
Tuhan untuk kepentingan manusia.
Bagi kaum Mu’tazilah
dan kaum maturidiyah kelopak Samarkand persoalan persoalan tersebut tidaklah timbul,
karena bagi mereka perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan tetap ia dalah perbuatan
manusia itu sendiri. Jadi, manusia dihukum atas perbuatan yang dikehendakinya sendiri
dan yang dilakukan bukan dengan paksaan, akan tetapi dengan kebebasan yang
diberikanTuhan kepadanya. Bagi kaum Maturidiyah kelompak Bukhra, karena sefaham
dengan kaum Asy’ariyah
BAB III
KESIMPULAN
Aliran yang mengakui
kebebasan manusia dan mengakui ketidakmutlakan kekuasaan dan kehendak Tuhan,
biasa disebut kaum Qadariyah mereka yang mengakui adanya free will dan free act
bagi manusia. Adapun aliran yang tidak mengakui adanya kebebasan manusia dalam
berbuat dan berkehendak biasa disebut dengan kaum Jabariyah mereka yang
menyebut manusia sebagai umat fatalisme atau predesination.Keadilan Tuhan
menurut :
Ø
Mu’tazilah
Kata-kata “Tuhan
Adil” mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak
dapat berbuat yang buruk dan bahwa ia tidak dapat mengabaikan
kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia.
Ø
Asy’ariyah
Bagi mereka
perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan perbuatan dalam arti sebab
dalam mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu betul mereka akui bahwa perbuatan
Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan itu tidaklah mendorong bagi Tuhan
untuk berbuat.
Ø
Maturidiyah
Faham Maturidiyahini ada dua golongan pertama golongan maturidiyah Bukhoro
yang kedua golongan Maturidiyah di Samarkand, dan masing-masing memiliki perbedaan pendapat
tentang Keadilan Tuhan.
Daftar Pustaka
Kiswati,
Isuroya. 2002. PeletakDasarTeologiRasionaldalam Islam, Jakarta:
Al-Juwaini
kehendak-mutlak-tuhan-dan-keadilan. Diaksesdari
http:// technurlogy.wordpress.com, PadaTanggal (24 November 2011).
0 komentar:
Posting Komentar